Ledakan bom menghancurkan tempat ibadah di kota Surabaya Provinsi Jawa Timur. Minggu 13 Mei 2018 pagi, di antaranya tiga gereja, Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) jemaat Sawahan dibom. Disusul malam harinya pada hari yang sama, komplek rumah susun Wonocolo di Taman kota Sidoarjo juga dikagetkan dengan ledakan bom.
Esok harinya, Senin 14 Mei 2018 pagi Markas Polrestabes Surabaya diserang bom. Tujuan dari semua ini untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan mempertunjukkan kekejaman. Puluhan korban tewas gugur dan luka-luka sedangkan pengebom tewas di lokasi. Lagi-lagi teroris sengaja menyasar tempat ibadah dan aparat kepolisian. Dengan demikian, teror bom bunuh diri merupakan musuh kita bersama.
Peneror atau pengebom tidak memiliki nurani dan rasa kemanusiaan, sehingga kita tidak perlu mengaitkan agama dan memberikan stigma buruk pada agama tertentu. Enam agama di Indonesia yang diakui Pemerintah Republik Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu tidak pernah mengajarkan kekerasan, kebencian, dan teror.
Semua penganut agama di Indonesia yang diakui pemerintah dari zaman ke zaman mengajarkan toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika. Landasan dan idiologi negara kita adalah Pancasila dan UUD 1945, sehingga pengebom dan peneror di Indonesia tidak mewakili agama tertentu. Di mana saja teroris berada, tujuan mereka adalah menciptakan kegaduhan untuk mengusik kententraman dan kedamaian.
Apabila teroris sudah berbuat biadab seperti itu, kita tidak boleh berdiam diri. Harus ada upaya-upaya perlawanan maksimal kepada teroris. Masyarakat dari berbagai latar dan seluruh elemen wajib bahu-membahu melawannya. Tidak bisa kita hanya berdiam diri tanpa memberikan kontribusi pencegahan terhadap teror yang sedang terjadi saat ini atau masa yang akan datang.
Benar Pemerintah Indonesia sudah membentuk lembaga khusus Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) untuk menghancurkan sel-sel terorisme di tanah air. Termasuk juga keberadaan TNI dan Polri yang sama-sama menjaga kedaulatan dan memberantas kejahatan di bumi pertiwi. Namun demikian, BNPT, TNI/Polri tetap memiliki keterbatasan.
Dari dulu aparat dari BNPT, TNI/Polisi berulangkali mengimbau masyarakat untuk melaporkan jika ada hal-hal mencurigakan dan mengganggu harmonisasi kebangsaan. Sampai saat ini aparat terus menyosialisasikan bahaya kejahatan teroris. Masyarakat juga diminta senantiasa waspada dengan pergerakan teroris sebab kehadirannya kadang-kadang sulit dideteksi.
Menjadi sebuah keharusan dan tugas kita bersama untuk bersinergi melawan teroris (pengebom) di tanah air. Masyarakat di bawah kepemimpinan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) harus mengenali keberadaan setiap warganya. RT dan RW wajib tahu setiap pekerjaan dan rutinitas warganya sehingga jika ada warga yang dicurigai akan melakukan teror bisa segera disikapi.
Siapa pun di antara kita harus saling bahu-membahu dengan BNPT, TNI/Polisi atau pihak-pihak yang terkait. Mengumpulkan informasi guna membangun sinergitas positif di masyarakat perlu digiatkan kembali. Masyarakat yang bertetangga harus peduli dengan tetangga lainnya dan tidak boleh acuh tak acuh. Peran aktif kita akan sangat membantu mempersempit sel-sel teroris yang bersembunyi di masyarakat.
Sekarang bukan zamannya lagi menjadi manusia asosial yang hanya berangkat kerja di pagi hari dan pulang malam hari. Bukan saatnya lagi kita dikenal (populis) di luar masyarakat tapi keropos di dalam bermasyarakat. Kita dituntut berperan aktif dan peduli dengan lingkungan sekitar untuk menciptakan kedamaian dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tidak perlu kita menyalahkan aparat dari BNPT, TNI, atau Polisi yang sudah bekerja maksimal siang dan malam untuk menciptakan ketertiban, ketenangan, dan kedamaian. Justru kita harus bertanya apakah keberadaan kita di tengah-tengah masyarakat sudah memberikan kontribusi positif dalam menanggulangi terorisme di tanah air? (Candra P. Pusponegoro/Pemimpin Redaksi www.centralbatam.co.id)