CENTRALBATAM.CO.ID, JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi Indeks ENSO telah mengarah pada kondisi La Nina ‘lemah’ yang diprediksi bertahan hingga awal 2017.
La Nina Dipole Negative merupakan anomali dimana suhu permukaan laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia berkontribusi menambah tingginya curah hujan dihampir seluruh Sumatera dan Jawa bagian Barat.
Hal inilah yang menyebabkan hujan berintensitas tinggi sering terjadi di sebagian wilayah Indonesia, termasuk Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Akibatnya, banjir dan longsor juga mengintai dan diprediksi meningkat.
Untuk mengatisipasi hal itu, BNPB bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) membangun 72 unit sistem peringatan dini longsor selama 3 tahun terakhir. Terhitung sejak tahun 2014 hingga 2016.
“Pada tahun 2014 atas perintah Presiden Joko Widodo, pasca longsor di Banjarnegara, BNPB dan UGM memasang 20 unit sistem peringatan dini longsor. Kemudian dilanjutkan 35 unit pada tahun 2015 dan 17 unit pada tahun 2016,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.
Dikatakannya juga, sebagian besar sistem peringatan dini longsor tersebut dipasang di Jawa yang memiliki resiko tinggi terhadap longsor. Ini dipasang seperti di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Kulon Progo, Banyumas, Cianjur, Bandung Barat, Trenggalek, Sukabumi, Bogor, Sumedang, Wonosobo, Garut dan sebagainya.
Alat tersebut juga dipasang di daerah lain di luar Jawa, seperti di Kabupaten Nabire, Aceh Besar, Buru, Lombok, Bantaeng, Sikka, Kerinci, Agam, Kota Manado dan lainnya.
Sistem peringatan dini longsor tersebut meliputi 7 sub sistem yang dibangun meliputi:
– Sosialisasi,
– Penilaian risiko,
– Pembentukan kelompok siaga bencana tingkat desa,
– Pembuatan denah dan jalur evakuasi,
– Penyusunan SOP,
– Pemantauan dan gladi evakuasi, dan;
– Membangun komitemen Pemda dan masyarakat.
“Jadi masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam proses pembangunan sistem peringatan dini longsor,” ujarnya.
Masalah utama dalam pembangunan sistem peringatan dini tersebut, adalah kultural.
Artinya, bagaimana masyarakat memahami ancaman di sekitarnya kemudian mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi terhadap ancaman yang ada.
Informasi dari sistem peringatan dini dipercaya kemudian menjadi bagian dari perilaku kehidupan sehari-hari. Ini adalah tantangan yang sulit dalam membangun sistem peringatan dini bencana.
“Kita membutuhkan ratusan ribu unit sistem peringatan dini longsor untuk menjaga seluruh daerah rawan longsor yang ada. Butuh biaya yang sangat besar. Oleh karena itu partisipasi dari Pemda, dunia usaha dan masyarakat diperlukan. Jika hanya mengandalkan semuanya dari Pemerintah, maka terbatas jumlah dan sebaran yang dapat dibangun mengingat luasnya daerah rawan longsor di Indonesia,” tegasnya.
Untuk itu, dia berharap agar Pemerintah Daerah dan Pusat mampu bekerja sama dalam mewujudkan hal tersebut. Hal ini penting, untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa atas bencana tanah longsor.