CENTRALBATAM.CO.ID, JAKARTA-Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI, Hanif Dhakiri menegaskan. Tenaga Kerja Asing (TKA) yang da di Indonesia, hanya menduduki posisi-posisi tertentu saja.
Hanif juga menyatakan, bahwa TKA hanya boleh menduduki posisi tertentu saja, yang dinilai sangat strategis. Menaker RI ini seolah meyakinkan masyarakat Indonesia, untuk tetap tenang. Mengingat perkembangan isu yang menyebut, TKA ramai-ramai serbu Indonesia untuk jadi buru kasar.
Hanif meyakinkan masyarakat Indonesia, untuk tidak terlalu khawatir karena aturan pekerja asing di Indonesia cukup ketat. Semuanya diatur dalam Permenaker Nomor 16 Tahun 2015.
“Pekerja asing hanya boleh menduduki jabatan-jabatan tertentu yang terbatas dan bersifat skilled. Paling rendah engineer atau teknisi. Tenaga kerja asing tidak boleh menjadi pekerja kasar. Jika ada, maka sudah pasti itu merupakan pelanggaran. Kalau ada pelanggaran ya ditindak, termasuk tindakan deportasi,” papar Hanif.
Sebagai bayangan bagaimana sebaran profesi Tenaga Kerja Asing di Indonesia, berikut ini persentasenya berdasarkan posisi: 28% profesional, 20% manager, 19% direksi, teknisi 14%, konsultan 12%, supervisor 4% dan komisaris 3%. Ini merupakan data terupdate per 30 Juni 2016.
Dengan pernyataan Hanif, beberapa kalangan pekerja dan masyarakat menanggapi miring maksud pernyataan Menaker ini.
Salah seorang pakar ekonomi, Jack Efarson menyatakan TKA yang ada di Indonesia sangat diberi kenyamanan, hingga posisi pekerjaan yang relatif tinggi.
“Sementara, tenaga kerja lokal yang ada. Hanya akan menjadi buruh kasar. Ini sama saja, prinsip penjajahan terdahulu kembali dibangkitkan. Meski caranya yang relatif modern,” tegas Jack.
Jack mengutarakan, seharusnya Pemerintah memanfaatkan tenaga lokal yang ada, untuk mengendalikan posisi strategis tersebut. Barulah kemudian menyisipkan TKA, dibawah naungan tenaga lokal.
Hal ini ditegaskannya, untuk mengurangi kecemburuan sosial yang akan timbul dari masyarakat sendiri.
“Tapi jika TKA jadi petinggi, ya lokal hanya bisa jadi buruh dong. Kok mau jadi buruh kasar? Kita yang punya rumah loh, inilah nantinya yang akan menimbulkan kecemburuan sosial. Hingga akhirnya berdampak panjang,” paparnya.
