CENTRALBATAM.CO.ID, TANJUNGPINANG-Sidang kedua terhadap terdakwa Erianto alias Ujang bin Bahrun Taher kembali bergulir, Jumat (22/7/2016) sore, di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tanjungpinang, Kepri.
Dalam sidang keduanya, Anggota Dewan pada DPRD Kepri dari fraksi Partai Demokrat yang tersandung kasus korupsi ini, tetap tidak mengenakan seragam tahanan.
Terlihat lebih spesial dibandingkan tahanan kejaksaan tinggi (Kejati) Kepri lainnya, Erianto tampil gagah dengan mengenakan pakaian batik cokelat, bak anggota dewan yang tak bersalah dalam sidang saat itu.
Meski terlihat dispesialkan, sang anggota aktif DPRD Kepri periode 2014-2019 ini tetap dihantam habis-habisan dengan keterangan 5 orang saksi yang dihadirkan.
Dalam persidangan, saksi Imron Kepala Bank Riau-Kepri cabang Natuna, Muhammad Tasrip Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Natuna, Wan Sido Karya binti Wan Zawali dari BPKP Kepri dan Siti Zumaidah, H. Ihwan Solihin sebagai Bendahara LSM Badan Perjuangan Migas Kabupaten Natuna (BPMKN) dihadirkan.
Dalam kesaksiannya, dihadapan Ketua Majelis Hakim Zulfadly, SH, didampingi Hakim Anggota Guntur Kurniawan, SH dan Suherman, SH. Saksi Imron mengatakan, bahwa ia pernah diperiksa di Polda Kepri dalam perkara terdakwa Erianto.
Keempat saksi lainnya juga menuturkan hal yang sama, pernah diperiksa sebagai saksi di Polda Kepri.
“Jadi saat diperiksa dan saat ini diperiksa sebagai saksi, saya tahunya, uang yang diperoleh LSM BPMKN ini dari dana Bantuan Sosial (Bansos) bersumber dari Kas Daerah Kabupaten Natuna. Jadi dana bansos ini dicairkan kerekening atas nama Giro BP Migas yang hanya bisa dicairkan oleh terdakwa Erianto,” kata saksi Imron, dalam persidangan.
Imron menegaskan, hanya terdakwa saja dengan tanda tangan aslinya yang dapat menarik uang didalam rekening Giro BP Migas.
“Karena saat pembuatan giro, cuma terdakwalah yang bisa mengambil. Hanya perlu tanda tangan beliau, tidak boleh diwakilkan. Jadi jelasnya, hanya beliaulah yang bisa mencairkan dana didalam giro,” terangnya.
Kemudian, saksi Muhammad Tarsip Kepala BPKAD Kabupaten Natuna memaparkan, bahwa terdakwalah yang pernah mencairkan dana bansos atas proposal fiktif yang dibuat dan diajukan terdakwa.
“Jadi atas proposal itu, saya, lewat persetujuan Bupati dan Wabup Natuna, persetujuan Sekda Natuna, atas persetujuan dan pengesahan DPRD Kepri, makanya saya berani cairkan dana itu. Sekitar 2013 saya cairkan sebanyak Rp 500 juta dalam 2 kali pencairan, pertama 24 April 2013 sebesar Rp 250 juta dan 18 Juli Rp 250 juta yang kedua. Saya cuman cairkan yang itu saja, atas instruksi Bupati dan Dewan. Makanya saya berani,” ucapnya.
Dia menegaskan, keikutsertaan Bupati dan Wakil Bupati, Sekda Natuna, serta DPRD Keprilah yang menyebabkan pencairan dana bansos itu sangat begitu mudah.
“Itu dana katanya untuk Hibah belanja LSM BPMKN bidang sosial dan kemasyarakatan. Mata anggaran yang sisa di 2013 itu hanya tinggal Rp 500 juta yang disediakan Pemda Natuna. Itulah yang saya cairkan,” ujarnya.
Lewat keterangan saksi Tarsip, sangat ditekankan posisi terdakwa yang saat itu sebagai anggota DPRD Kepri aktif yang diduga semakin memperlancar proses pengesahan mata anggaran pencairan dana bansos, dalam pembahasan ditingkat dewan.
Setelah dicairkan, Rp 500 juta tersebut langsung ditransfernya kerekening giro BP Migas, atas permohonan terdakwa.
Kemudian, saksi Wan Sido Karya, dari Adan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) Kepri menyatakan ahwa ia yang memeriksa kelengkapan persyaratan proposal fiktif yang dibuat dan dijalankan oleh Erianto.
“Saya yang periksa kelengkapan berkasnya, ternyata LSM itu sudah 3 kali menerima bansos dengan tahun yang berbeda-beda. Dari 2011, 2012 sampai dengan 2013. Tiap tahun selalu dapat dana bansos,” ujarnya.
Dia juga menyatakan, total keseluruhan dana bansos yang diterima oleh LSM BPMKN berjumlah sekitar Rp 5 miliar.
Hal inilah yang akhirnya memuat majelis hakim tercengang, mendengar besarnya dana bansos yang diterima LSM BPMKN yang diketuai terdakwa terdakwa Zainal alias Nasir dan bendahara terdakwa Erianto sendiri.
“Kok gila kali dana bansos yang diterima LSM itu? Itu LSM loh, bukan instansi atau dinas. Bagaimana mungkin pemerintah seenaknya meloloskan dana sebanyak itu?” tanya Ketua Majelis Hakim, Zulfadli.
Namun saksi Wan Sido hanya terdiam dan tak mampu menjelaskan, bagaimana terdakwa mampu mendapat penciran dana sebesar itu.
“Saya ga tahu Yang Mulia, saya tahunya terdakwa ini mengajukan permohonan pencairan dana sebanyak 3 kali. Pertama di 2011 dengan jumlah Rp 2,4 miliar yang diambil dengan 3 kali pencairan, kedua 2012 itu sekitar Rp 1,35 miliar, dalam 3 kali pencairan juga. Dan ditahun 2013 itu ada Rp 500 juta, nah ini hanya 2 kali pencairan saja,” bebernya.
Mendengar proses pencairan dana tersebut yng terkesan janggal, hingga mencapai 3 kali pencairan dalam satu tahun. Hakim Zulfadli semakin penasaran dan menanyakan hal itu kepada saksi dari BPKP Kepri ini.
“Kok bisa satu LSM dapat 2 sampai 3 kali pencairan dalam setahun? Lazim tidak? Atau hanya BP Migas Saja yang begitu? Agak dispesialkan mereka? Atau bagaimana? Bolehkah begitu?,” imbuhnya Zulfadli.
Namun saksi Wan Sido menyatakan tidak mengetahui akan hal itu.
“Sayapun ga tahu Yang Mulia, saya cuma jalankan perintah saja. Katanya punya pak Bupati, dan katanya lagi sudah di Acc pula sama Dewan, Sekda, bahkan Bupati dan Wakilnya,” jawab Sido.
Kemudian, saksi Siti Zumaidah, selaku bendahara II di LSM BPMKN menyatakan seluruh dana bansos dari 2011 sampai 2013 tersebut langsung dicairkan dan kemudian dimasukkan kerekening LSM BPMKN yang hanya bisa diakses oleh terdakwa.
“Saya cuma masukin uang dari transferan Kas Daerah Natuna ke rekening LSM. Dan itu hanya bisa diakses oleh terdakwa, maksudnya diakses ini, ya orang lain bisa kirim. Tapi yang cairkan uang dari rekening giro LSM itu ya cuma pak Erianto sendiri saja, selaku Bendahara diproposal pengajuan dana itu,” tegasnya.
Dikatakannya, masukan uang kerekening LSM dilakukn bertahap, yakni:
1. Mulai 2011, ada sebanyak 3 kali. Yakni:
-Agustus 2011 sebanyak Rp 800 juta,
-September 2011 sebanyak Rp 800 juta, dan;
-November 2011 sebanyak Rp 800 juta.
2. Kemudian ditahun 2012:
-Maret 2012 sebanyak Rp 500 juta,
-April 2012 sebanyak Rp 500 juta, dan;
-Juni 2012 sebanyak Rp 350 juta.
3. Lalu ditahun 2013 ada:
-April 2013 sebanyak Rp 250 juta, dan;
-Juli 2013 sebanyak Rp 250 juta.
“Jadi total di 2011 itu ada Rp 2,4 miliar, ditahun 2012 ada Rp 1,350 miliar dan ditahun 2013 itu ada Rp 500 juta. Jadi dalam 3 tahun itu ada 4,250 miliar yang masuk rekening LSM BPMKN, itu yang saya tahu dan saya pernah jalankan,” kata Siti.
Namun, lanjutnya. Jumlah tersebut masih belum cukup, mengingat total keseluruhan dana bansos yang diberikan itu mencapai Rp 5 miliar.
“Tapi yang pernah saya masukkan kerekening LSM itu hanya Rp 4,250 miliar. Diluar itu saya tida tahu,” jelasnya dengan raut pucat dan berlinang air mata, seolah takut menjelaskan kesaksiannya dihadapan Majelis Hakim.
Sebelumnya, dalam perkara Korupsi nomor 13/Pid.Sus-TPK/2016/PN Tpg, terdakwa didakwa lantaran terendus melakukan kecurangan, dalam proyek penyaluran dana Bantuan Sosial (Bansos), di Kabupaten Natuna.
Hal ini turut dibuktikan dan dipertegas dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuyun Wahyudi, SH dan Jaksa Imam Rusli, SH.
“Dalam perbuatannya, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Terdakwa terbukti bekerja sama dengan saksi Muhammad Nasir bin Bujang Zainal alias Nasir, selaku Ketua Dewan Pendiri Badan Perjuangan Migas Kabupaten Natuna (BPMKN),” kata JPU Yuyun Wahyudi.
Dalam menjalankan aksinya, kedua terdakwa, meski dalam perkara yang terpisah mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Badan Perjuangan Migas Kabupaten Natuna (BPMKN).
LSM itu sendiri, diketuai oleh saksi sekaligus terdakwa Zainal alias Nasir. Sementara terdakwa Erianto, anggota Dewan di DPRD Kepri yang masih aktif dalam periode 2014 sampai dengan 2019 ini menjabat sebagai bendahara di LSM BPMKN tersebut.
“Kemudian keduanya membuat proposal fiktif, untuk meminta dana Bansos ke Pemerintah Pusat, melalui perantara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Natuna dan selanjutnya diteruskan ke DPRD Provinsi Kepri, hingga ditembuskan ke Pemerintah Pusat,” tegasnya.
Dalam pembuatan proposal ini, kedua terdakwalah yang akhirnya menikmati hasi dari dana Bansos yang telah disetujui dan dicairkan.
Dalam dakwaan dipaparkan, kedua terdakwa bekerja sama membuat proposal fiktif, menyebarkan proposal, hingga akhirnya mendapat pencairan dana Bansos yang dinikmati secara pribadi alias menguntungkan diri sendiri.
Atas perbuatannya, Negara mengalami kerugian materil sebesar Rp 3.259.274.751 (3,25 M). Data ini diperoleh dari hasil audit di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Daerah (BPKPD) Provinsi Kepulauan Riau.
“Atas perbuatannya pula, terdakwa Erianto dijerat dengan dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001, tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP,” ungkapnya.
Dakwaan Subsidair, lanjutnya, melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001, tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.