CENTRALBATAM.CO.ID, JAKARTA – Pinjaman online atau pinjol ilegal marak beredar di masyarakat. Bisnis ini menjadi tidak jelas karena campur-aduk dengan fintech legal.
Tak heran, Presiden Joko Widodo pun sampai meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghentikan sementara atau moratorium izin baru fintech.
Pekan lalu, polisi menggerebek perusahaan penagih pinjol di wilayah Jabodetabek. Dari penyelidikan, perusahaan debt collector ini tak hanya menjadi penagih injol ilegal, tetapi ada juga yang legal.
YLKI juga sering mendapat laporan bahwa masalah juga terjadi pada pinjol legal. Yakni, suku bunga yang sangat tinggi, di atas ketentuan OJK, 0,8 persen per hari, sehingga banyak nasabah yang mengeluh.
Namun, aktivitas pinjol ilegal justru menjadi masalah besar karena diduga ada modus pencucian uang dari luar negeri ke Indonesia melalui bisnis pinjol ini.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam Lumban Tobing.
Tongam mengatakan, SWI telah menghentikan 3.515 pinjol ilegal. Dari penyelidikan OJK, ternyata banyak pinjol ilegal itu servernya berada di luar negeri.
Dari ribuan pinjol ilegal yang diblokir itu, 22 persen server operasionalnya berada di Indonesia, 34 persen berada di luar negeri.
”Sisanya atau 44 persen tidak diketahui karena mungkin menggunakan media sosial. Jadi memang ada orang di luar negeri yang melakukan praktik pinjol ilegal di Indonesia,” kata Tongam dalam diskusi daring bertajuk
“Jerat Pinjol Ilegal Bikin Benjol”, Sabtu (16/10/2021).
SWI mengendus motif lain di luar pencarian keuntungan dari perusahaan pinjol ilegal ini. Dugaan itu mengerucut pada kemungkinan pencucian uang lewat perusahaan pinjol.
”Ada indikasi juga kemungkinan ada pencucian uang, dari luar (negeri) ke sini,” kata Tongam.
Ia tidak merinci lebih lanjut modus dugaan pencucian uang tersebut. Termasuk, pebisnis dari luar negeri yang diduga terlibat sengkarut kasus pinjol dalam negeri ini.
Namun, dari hasil investigasi SWI, praktik pinjol ilegal di Indonesia memang murni penipuan untuk mencari keuntungan yang besar.
Tongam membeberkan, pinjol ilegal ini tidak terdaftar di OJK karena memang sengaja untuk melakukan kejahatan.
Lokasi kantor dan manajemennya juga tidak jelas. Bahkan nomor teleponnya juga sering berganti.
Pinjaman online membuat masyarakat terjebak karena syarat yang sangat mudah dan prosesnya hanya dalam hitungan menit.
Peminjam hanya memberikan fotokopi KTP dan foto diri. Namun yang paling berbahaya adalah, pinjol ilegal meminta akses data dan seluruh nomor kontak di telepon selular.
Hal itu kemudian dijadikan alat untuk mengintimidasi atau melakukan teror jika nasabah tidak membayar uang yang dipinjamkan.
“Bayangkan, mereka bisa menyebarkan tunggakan Anda ke keluarga, kawan, serta siapa saja yang ada di kontak telepon Anda,” katanya.
Ciri lain dari pinjol ilegal ini adalah memotong bunga dan biaya di depan dengan cara mengurangi jumlah pinjaman.
“Misalnya meminjam Rp 1 juta, yang cair hanya Rp 600 ribu. Bunga perjanjian awal hanya setengah persen menjadi 3 persen per hari. Kemudian, jangka waktu pinjaman yang awalnya 90 hari, seminggu sudah mereka tagih. Jika tak bayar, didenda,” ucap Tongam.
Tongam mengingatkan masyarakat agar lebih waspada dan selalu mengecek legalisasi pinjol di OJK. Kemudian meminjam sesuai kebutuhan dan digunakan untuk keperluan produktif, bukan konsumtif.
“Jangan meminjam untuk membayar utang lama, seperti gali lubang tutup lubang. Sangat berbahaya,” jelas Tongam.
”Karena ini perjanjian ini perdata, sebelum ada perjanjian, pahami dulu manfaat, kewajiban dan juga risikonya.”
Terkait intimidasi atau teror yang dilakukan perusahaan pinjol, Tongam menyarankan untuk melaporkan kepada polisi. Sebab hal itu sudah masuk ranah pidana.
“Masyarakat jangan ragu-ragu kalau mengalami intimidasi dan teror oleh pinjol, laporkan ke polisi. Jangan takut. Mereka itu bukan perusahaan jasa keuangan, tetapi perusahaan ilegal. Mereka tak akan berkutik dengan polisi,” tuturnya.
Tongam menjelaskan bahwa pemberantasan pinjol ilegal bukan hanya tugas OJK. Sebab, pinjol ilegal ini penawarannya rata-rata melalui website, aplikasi, dan SMS.(mzi)