CENTRALBATAM.CO.ID, BATAM – Layaknya pekerja ulet kebanyakan, Siti Aminah disapa Ninuk (55 tahun), tak punya banyak kosa kata untuk menjelaskan detail pekerjaannya. Yang ia tahu, setiap hari dia hanya bergelut dengan jenazah.
Mulai memandikan mayat, mengkafani, melakukan wrapping hingga menguburkannya di pemakaman. Siti Aminah alias Ninuk mengaku hanya mau menceritakan apa yang dia alami, bukan yang dia dengar.
“Kalau cerita yang kita dengar, pasti banyak salahnya.”
Jujur, selalu berprasangka baik, dan menghindari cerita kosong, membuatnya tetap bugar serta punya ingatan panjang, hingga kini.
Ini pulalah yang menjelaskan, kenapa wanita kelahiran Jombang 28 Okteber 1965 ini masih mengingat detail nama para mayat, para keluarga, serta awal mula perjalanannya merantau dan bekerja jadi petugas jenazah.
Kurun waktu 21 tahun lamanya, Ninuk menghabiskan waktunya di kamar jenazah. Bukan waktu yang singkat bagi seorang Ninuk, namun ia harus melewatinya.
Di usianya yang tak lagi muda, Ninuk harus menghabiskan waktu di hari tuanya untuk bekerja bersama tiga rekan sejawatnya, Nurdin dan Syukur menjadi petugas jenazah.
Meski wajah Ninuk sudah terbilang tua, paras wajahnya tak lagi seperti dulu, dahi pipinya terlihat keriput namun semangatnya tak pernah pudar.
“Apa ya, saya juga bingung kalau harus menjawabnya bagaimana. Yang saya tahu, ini adalah salah satu pengabdian saya kepada mereka yang telah berpulang,” ujar Ninuk.
Bahkan dengan wajah heran, Ninuk bertanya-tanya kenapa ia dapat betah bekerja mengurusi jenazah di kamar mayat Rumah Sakit Badan Pengusahaan (RSBP) Batam sejak tahun 1999.
“Jadi dari tahun 1999 pertama kali bertugas di RSBP, langsung ditugasin di kamar mayat, hingga sekarang nggak pernah pindah, iya di sini saja terus,” ungkap Ninuk.
Sembari duduk di ruang kerjanya di kamar jenazah RSBP Batam, Senin (23/11/2020) siang, Ninuk menceritakan sederet cerita pengalamannya menangani jenazah.
“Udah berapa ya, saya tidak ingat betul jumlahnya. Tapi yang pasti sudah sangat banyak, mungkin mencapai ribuan jenazah. Hitung saja dari tahun 1999,” ujar Ninuk sembari berupaya mengingat.
Kala itu, pertama bertugas di kamar jenazah tahun 2000 saat adanya peristiwa memanas di Batam terkait kasus antar suku.
“Wah itu sangat tegang, setiap hari mayat yang diantar banyak,” sebutnya.
Ninuk pun menceritakan pengalamannya awal mula merantau ke Batam.
“Saya ini kan orang Jombang, ketemu suami orang Belakang Padang. Singkat cerita menikah dan menetaplah di pulau Belakang Padang sejak tahun 1990 an.”
“Waktu itu saya awalnya jadi pengajar ngaji di Belakang Padang, jadi waktu itu saya ditawari kerja oleh teman namanya pak Kyai Nabahan, Ketua KUA Belakang Padang untuk bekerja di kamar mayat RSBP.”
“Kemudian, untuk menambah penghasilan saya pun bekerja dengan upah kala itu masih Rp 200.000 per bulan, hinggalah akhirnya sampai sekarang,” kata Ninuk.
Ninuk miliki tiga orang anak, dua di antara sudah menikah dikarunia 4 cucu, sementara sang suami sudah almarhum.
“Atas kerja keras, akhirnya anak saya dapat tumbuh dewasa hingga bekerja. Saya pun sudah sangat senang, dikaruniai cucu-cucu yabg baik,” kata Ninuk dengan nada puas.
Hanya saja, kata Ninuk, kerja tidak kenal waktu membuatnya kehilangan waktu yang banyak untuk bermain dengan sang cucu.
“Gimana ya, kadang saya sudah pulang ke Belakang Padang, Kota Batam, tiba-tiba dapat telepon dari RS ada mayat baru masuk, pikir saya. Lah, tak jadi istirahat,” kata Ninuk.
Tidak hanya itu, parahnya lagi kadang dihubungi tengah malam suruh datang ada mayat yang harus ditangani, apalagi masa Covid-19 ini.
Sanking lelahnya Ninuk bersama tiga rekan sejawatnya, mereka pernah tidur di kamar mayat.
Kata Ninuk, ia bersama 2 orang rekannya dalam satu hari pernah menangani 7 jenazah hingga ke pemakaman.
“Jenazahnya bukan hanya yang meninggal wajar, bahkan kadang ada yang sudah tidak layak lah. Mungkin sedikit ekstrim, ada yang sudah busuk dipenuhi ulat, ada yang tanpa kaki, tangan dan perutnya pecah dan bahkan tak punya kepala,” sebut Ninuk.
Memang terdengar sadis, tapi kata Ninuk itu harus ditanganinya secara baik hingga diantarkan ke pemakaman tempat di mana setiap manusia akhirnya akan kembali.
“Kadang kalau pas saya mandiin mayat, saya kadang sedih, ada rasa sedih melihatnya. Kadang terlintas di benak saya, apakah nanti saya akan seperti mereka yang meninggal secara tragis, itu sangat sedih. Hampir menangis saya jika melihatnya,” katanya.
Walau Ninuk seorang wanita, ia harus mampu mengangkat mayat dengan dua orang rekannya.
“Terdengar jarang mungkin ada wanita bekerja jadi petugas kamar jenazah, tapi bagiku itu sama saja, sama-sama pekerjaan,” kata dia.
Ada pengalaman yang tak pernah dia lupakan. Yakni saat akan mengirim jenazah ke Yogyakarta namun batal.
“Waktu itu kita sudah ke bandara dan akan diberangkatkan pukul 09.00 WIB. Namun, tidak lama kemudian penerbangan dibatalkan akibat musibah Gunung Merapi. Padahal kita sudah koordinasi dengan keluarga jenazah di sana,” kata Ninuk.
Akhirnya jenazah itu dimakamkan tanpa keluarga.
Di samping itu, ada hal yang Ninuk sukai saat menangani mayat yang harus diotopsi.
“Karena saya bisa belajar dan ilmu banyak. Selain itu paling senang kerjain mayat yang tidak ada masalah. Jadi semua berjalan lancar, tidak ada kendala, keluarganya pun ikhlas,” katanya.
Jadi jenazah itu ganteng dan cantik dengan bajunya lengkap.
“Misal kalau dia Kristen dipakaikan baju dan jas, seperti ada budayanya,” katanya.
Selama Covid-19, Ninuk mengaku juga harus menggunakan APD lengkap saat memakamkan jenazah.
“Iya heroik sekali lah, perdana me-wrapping pasien covid-19 hingga menguburnya dengan menggunakan seragam APD bak robot hingga ke pemakaman,” ujar Ninuk.
Dengan wajah terbayang, Ninuk pun mengungkapkan kisah haru perjuangan yang pernah dilaluinya saat memakamkan jenazah pasien positif Covid-19 dan jenazah pasien PDP.
Kemarin itu, kata dia, kita hanya bertiga mengubur jenazah. Pernah sekira pukul 21.00 WIB dan pernah pukul 02.00 WIB dini hari.
“Waktu itu sempat kita pernah terkendala APD, dan terpaksa harus menggunakan jas hujan,” katanya.
Apalagi, malam itu diguyur hujan deras. Namun tanggungjawab memakamkan harus segera dilakukan.
“Ah, tak terbayanglah. Namun itu harus saya lalui,” kata Ninuk dengan nada sedih.
“Usia saat ini 55 tahun, bulan depan sudah 56 tahun. Tapi masih strong dan semangat kok,” kata wanita berdarah Jawa ini dengan nada gigih semangat.
21 tahun bertugas di kamar mayat, Ninuk mengaku mendapatkan pelajaran tentang kerendahan hati, memahami perbedaan agama.
“Tentunya saya sebagai manusia tidak boleh sombong, apapun itu mau dia kaya, cantik dan sejatinya manusia sempurna duniawi endingnya akan kembali ke pekuburan,” katanya.
Jadi, Ninuk berpesan jangan pernah sombong, apalagi menyombongkan diri. Mau kamu cantik, ganteng tetaplah rendah hati.
“Jalan hidup manusia kita tidak ada yang tahu,” katanya.(Ndn)