Sekitar dua minggu sejak social distancing digaungkan pemerintah, masyarakat golongan menengah kebawah mulai teriak sana-sini. Mereka teriak bukan karena terjangkit virus corona atau covid-19. Mereka teriak karena tak bisa lagi mengais lembaran rupiah karena perusahaan yang mereka bekerja sepi.
Para pengusaha kecil seperti warung kopi ingin teriak meluapkan kepedihan, tapi takut disebut “melawan aturan pemerintah”. Sehingga dengan terpaksa menahan tangis di keheningan warung di miliki lantaran gencarnya petugas membubarkan acara berkumpul.
Berjalanlah diantara para tukang pangkas, dan kamu akan merasakan sejak physical distancing jika makan sehari mereka sudah bersyukur. Ini tidak lain karena orang takut bersentuhan dengan yang lain. Sehingga para pelanggan memilih rambut berantakan daripada terjangkit corona yang sangat mudah menyebar itu.
Ditengah jeritan ekonomi, masyarakat kecil dan menengah berjuang melawan rasa lapar dan berjuang menantang corona dengan terus bekerja. Sementara, orang-orang yang haus akan kekuasaan justru gencar mempromosikan diri melalui spanduk dan brosur promosi diri.
Tanpa menyebutkan nama pemilik dan penyebar, salah satu tim itu pernah datang ke perumahan saya tinggal saat musim corona ini. Tanpa merasa bersalah lalu membagi-bagikan brosur pencalonan.
Menyedihkan, disaat tidak sedikit yang menjerit berharap uluran tangan justru mereka tak henti-hentinya menyebar luaskan promosi diri. Memang tidak melanggar aturan main KPU dan Bawaslu. Dan juga mereka memiliki hak untuk melakukan hal itu. Namun, pertanyaan “masih wajar kah masyarakat memilih mereka yang terkesan mementingkan diri”?
Jika pribadi saya ditanya hal itu, maka jawabannya satu “I will never” atau tidak akan pernah. Alasannya pertama saya adalah “seharusnya disaat pandemic ini orang-orang yang memiliki harta berlebih lebih baik berdonasi. Toh juga hal itu akan diperhitungkan masyarakat sebagai nilai plus”.
Hal yang kedua kenapa saya tidak akan pernah memilih karena bagi saya mereka tidak punya hati. Alasannya tidak punya hati karena disaat kekacauan terjadi malah sibuk urus kepentingan politik dan pribadi. Dan satu kata untuk itu adalah “Egois”. Mau memikat hati masyarakat, tapi tak ada rasa kemanusiaan.
