CENTRALBATAM.CO.ID, BATAM – Penamaan Flyover Laksamana Ladi yang baru saja diresmikan oleh Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat.
Banyak yang mempertanyakan asal-usul nama tersebut, terutama karena tidak dikenali dalam sejarah lokal Melayu.
Anggota Dewan Kehormatan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau, Datok Machmur Ismail, menyampaikan bahwa nama “Laksamana Ladi” tidak pernah terdengar sebelumnya di kalangan masyarakat Melayu.
“Saya sudah 75 tahun, lahir dan besar di sini. Nama itu tidak pernah saya dengar. Kalau memang disebut nama itu berasal dari seorang pahlawan, saya minta maaf, saya tidak bisa memberikan komentar lebih jauh karena tidak tahu asal-usulnya,” ujar Datok Machmur, Rabu (1/1/2025).
Menurut Datok Machmur, wilayah Sei Ladi memiliki sejarah tersendiri yang justru lebih berkaitan dengan alam. Nama “Ladi” disebut berasal dari pohon keladi yang banyak tumbuh di sekitar kawasan tersebut.
Di masa lalu, daerah ini dikenal sebagai tempat mencari ikan dan kepiting. Namun, ia tidak pernah mendengar bahwa nama “Ladi” berasal dari seorang tokoh sejarah.
“Dahulu orang sering mencari ikan dan kepiting di sana, dan pohon keladi tumbuh subur di kawasan itu. Jadi, kemungkinan nama itu berasal dari keladi, bukan dari tokoh sejarah tertentu,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan sejarah lain terkait “Mentiang,” nama yang diambil dari keberadaan pohon besar di area tersebut.
Namun, tidak ada catatan atau referensi yang menunjukkan bahwa nama “Laksamana Ladi” berasal dari sejarah Kerajaan Riau Lingga.
LAM Kepri telah membahas masalah ini secara internal dan mengusulkan agar dilakukan kajian ilmiah terkait asal-usul nama tersebut.
Mereka juga meminta agar proses penamaan seperti ini melibatkan lembaga adat Melayu dan tokoh masyarakat untuk menghindari kesalahpahaman.
“Sebaiknya, sebelum sebuah nama diresmikan, perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan orang-orang tua dan lembaga adat. Hal ini untuk memastikan bahwa nama tersebut memiliki nilai sejarah dan tidak menimbulkan kontroversi,” tegas Datok Machmur.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa jika tidak dikaji ulang, penamaan ini dapat memicu persepsi negatif bahwa LAM kurang peduli terhadap budaya Melayu.
“Kalau tidak dilakukan kajian yang matang, nanti akan ada yang merasa tidak puas. Jadi, kami harap langkah koreksi ini bisa dilakukan sebelum masalah berkembang lebih jauh,” tutupnya.
Kasus ini menyoroti pentingnya melibatkan lembaga adat dan tokoh masyarakat dalam keputusan yang berkaitan dengan budaya dan sejarah lokal.
Kajian mendalam dan komunikasi terbuka diperlukan agar keputusan yang diambil tidak hanya sesuai, tetapi juga dihormati oleh semua pihak.(dkh)