CENTRALBATAM.CO.ID, JAKARTA – Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta mulai menggelar sidang kasus tabrak lari yang menewaskan sepasang remaja bernama Salsabila dan Handi Saputra di Nagreg, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Sidang perdana dengan terdakwa Kolonel Inf Priyanto itu digelar Selasa (8/3/2022), dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Oditur Militer atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam peradilan militer.
Sidang dipimpin Hakim Ketua Brigadir Jenderal Faridah Faisal dengan hakim anggota Kolonel Corps Hukum (CHK) Suryadi Syamsir, dan Kolonel Sus Mirtusin.
Dalam pembacaan dakwaan itu, Oditur Militer Tinggi II Jakarta, Kolonel Sus Wirdel Boy mengungkapkan beberapa fakta.
Di antaranya, Kolonel Inf Priyanto ternyata sempat membentak anak buahnya setelah mereka menabrak sejoli Salsabila (14) dan Handi Saputra (17) pada 8 Desember 2021 silam.
“Kita itu tentara, kamu tidak usah cengeng. Tidak usah panik. Pokoknya cukup kita bertiga yang tahu,” kata Kolonel Sus Wirdel Boy menirukan ucapan Kolonel Inf Priyanto.
Wirdel mengatakan, bentakan tersebut ditujukan kepada Kopda Andreas Dwi Atmoko yang saat kejadian bertugas sebagai sopir mobil Isuzu Panther.
Awalnya Andreas yang mengemudikan mobil merasa bersalah karena sudah menabrak ke dua korban di Jalan Raya Nagreg.
“Saksi dua berkata ‘kasihan bapak, itu anak orang. Pasti dicari orangtuanya, mending kita balik ke Puskesmas yang ada di pinggir jalan tadi’,” kata Wirdel Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
Tapi Priyanto yang saat kejadian duduk di kursi depan sebelah kiri Andreas justru membentak prajurit TNI itu agar diam dan mengikuti perintahnya saja mengemudikan mobil.
Meski diminta diam, kembali menyarankan mantan pimpinannya itu agar mereka tidak membuang kedua korban ke Sungai Serayu.
Andreas yang saat kejadian mengemudikan kendaraan merasa bersalah karena akibat dia, Handi mengalami luka berat, dan Salsabila tewas di lokasi kejadian akibat luka di kepala.
Tapi Priyanto yang merupakan mantan Kasi Intel Komando Resor Militer 133/Nani Wartabone, Kodam XIII/Merdeka itu, tetap memaksa Andreas menuruti perintah untuk kabur dan membuang kedua korban.
“Kemudian dijawab terdakwa (Priyanto) ‘Ikuti perintah saya, kita lanjut saja’. ‘Kamu jangan cengeng. Nanti kita buang saja mayatnya ke sungai setelah sampai di Jawa Tengah’,” ujar Wirdel.
Berulang kali Andreas menyarankan agar Priyanto mengurungkan niat kejinya membuang korban, tapi perwira menegah TNI AD itu tetap saja tidak menerima saran yang diberikan.
Priyanto menolak mentah-mentah saran Andreas dan Koptu Ahmad Soleh (saksi tiga) yang saat kejadian duduk di bangku tengah dalam keadaan setengah jongkok dekat jasad Salsabila.
Lalu terdakwa, saksi dua dan saksi tiga kembali melanjutkan perjalanan.
Priyanto bersama Ahmad Soleh dan Andreas menaiki mobil tersebut di Jalan Raya Nagreg menuju Yogyakarta.
Andreas menabrak sepeda motor Satria FU yang dikemudian Handi yang memboncengi Salsabila.
“Sekira pukul 15.30 WIB, kendaraan mereka bertabrakan dengan sepeda motor Satria FU,” kata Wirdel.
Kencangnya benturan mengakibatkan kedua korban terpental. Handi tergeletak dekat ban depan, sementara Salsabila masuk ke dalam kolong mobil Isuzu Panther.
Sejumlah warga di sekitar lokasi sempat berupaya menolong korban sembari menunggu jajaran Unit Laka Satlantas setempat tiba.
Namun setelah beberapa saat ditunggu, polisi tidak kunjung datang sehingga Priyanto ‘berinisiatif’ membawa kedua korban dengan memasukkan ke dalam mobil.
Empat warga yang jadi saksi meyakini Handi dalam keadaan hidup karena sempat merintih menahan sakit.
“Saksi empat, lima, enam, dan tujuh melihat saudara Handi dalam keadaan hidup dan masih bernafas serta bergerak seperti merintih menahan sakit,” ujar Wirdel.
Salsabila yang dimasukkan ke bagian kursi tengah sudah meninggal dunia. Merujuk keterangan saksi, luka berat di bagian kepala sehingga mengalami pendarahan dan bagian kaki kanan patah.
“Saksi berkata jangan dulu dibawa sebelum ada petugas atau keluarga datang. Namun terdakwa memerintahkan saksi dua dan tiga untuk segera masuk ke dalam mobil,” tuturnya.
Singkat cerita, Kopda Andreas dipaksa Priyanto untuk memacu kendaraan pergi dari lokasi kejadian hingga akhirnya tiba di aliran Sungai Serayu, Jawa Tengah lokasi kedua korban dibuang.
Dalam perkara ini Priyanto yang berkas perkaranya terpisah dengan Andreas dan Soleh dijerat dakwaan gabungan sesuai penyidikan Puspom TNI dan pemeriksaan berkas Oditurat Militer Tinggi II Jakarta.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal Primer 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Penyertaan Pidana, Subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP, subsider kedua Pasal 333 KUHP Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Subsider ketiga Pasal 181 KUHP tentang Mengubur, Menyembunyikan, Membawa Lari, atau Menghilangkan Mayat dengan Maksud Menyembunyikan Kematian jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Bila mengacu dakwaan primer, Priyanto terancam hukuman mati, penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara.
Adapun Kopda Andreas Dwi Atmoko dan Koptu Ahmad Soleh diadili terpisah pada dua perkara, yakni kecelakaan lalulintas di Pengadilan Militer Bandung, (Central Network/mzi/ndn)