CENTRALBATAM.CO.ID, BATAM – Dalil Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, kekuasaan mutlak pasti dipersalahgunakan), rasanya tepat dialamatkan pada beberapa wilayah Indonesia yang dalam sistem pemerintahan daerahnya belum memiliki wakil kepala daerah, kepri adalah salah satunya.
Kepri, merupakan wilayah Kepulauan yang terbilang cukup luas, berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), Provinsi Kepri memiliki sekitar 1.817.604 penduduk, yang terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota.
Dengan penduduk yang lebih dari 1.8 juta jiwa, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2014 menegaskan bahwa wilayah yang kurang dari 3 juta penduduk dan diatas 1 juta tersebut harus memiliki seorang ‘wakil’ kepala daerah.
Pentingnya keberadaan seorang wakil kepala daerah, secarategas diatur dan seharusnya dapat benar-benar dijalankan sesuai dengan mandat dan ketentuan itu.
Setelah Gubernur Kepri, Alm. H. M. Sani meninggal, 8 April 2016 lalu. Maka Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang Undang, yang pada intinya menegaskan bahwa dalam hal meninggalnya seorang Gubernur maka jabatan tersebut digantikan oleh sang wakil.
Dengan mandat Undang-undanglah, hingga Pada 25 Mei 2016 lalu dilantiklah Nurdin Basirun (Wagub, red) menjadi Gubernur Kepri oleh Presiden Joko Widodo.
Permasalahan yang kemudian muncul, pasca diangkatnya Nurdin sebagai Gubernur Kepri yang hingga saat ini (10 bulan, red) atau hampir satu tahun Kepri tidak memiliki seorang Wakil Gubernur.
‘Pucuk kepemimpinan berjalan pada kekuasaan yang tunggal’ begitulah istilah yang tergambar, dengan kepemimpinan Nurdin Basirun yang tak kunjung didampingi sang wakil.

Sebenarnya dalam ketatanegaraan, wakil kepala daerah hanyalah bagian dari pada konvensi ketatanegaraan semata. Hanya saja dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan melihat luas wilayah dan jumlah penduduk yang begitu besar, maka jabatan wakil kepala daerah dianggap perlu dan dituangkanlah ketentuan wakil kepala daerah tersebut dalam beberapa bentuk peraturan perundang-undangan.
Pentingnya keberadaan seorang wakil kepala daerah, dapat dilihat dari beberapa hal, seperti: ketika kepala daerah sewaktu-waktu berhalangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, wakil kepala daerah juga berfungsi membantu segala bentuk tugas dan kewenangan kepala daerah, mengendalikan jumlah penduduk dan ikut serta membantu menyelesaikan persoalan dalam kerumitan daerah itu sendiri.
Maka jika dilihat dari pentingnya keberadaan wakil kepala daerah, tentu menjadi pertanyaan tersendiri di masyarakat, mengapa hingga saat ini Kepri belum juga memiliki wakil kepala daerah?.
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2014, Tentang Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati Dan Wakil Walikota dengan tegas memberikan prosedur pengangkatan wakil kepala daerah sebagaimana mestinya.
Maka bersandar dari prosedur hukum tersebut, penulis mencoba memberikan analisa yuridis sebagai berikut:
“Dalam pasal 5 dijelaskan bahwa Gubernur wajib mengusulkan calon wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri paling lambat 15 hari kerja setelah pelantikan,” Isi pasal dalam Undang-undang itu.
Sedangkan sebagaimana yang dijelaskan diatas, Nurdin selaku Gubernur yang dilantik pada Mei 2016 yang hingga saat ini belum juga memberikan pembelajaran positif bagi sistem pemerintahan daerah Kepri.
Sekalipun pengusung Gubernur dan wakil gubernur Sani-Nurdin terdahulu adalah terdiri dari gabungan 5 partai politik, yakni Demokrat, Gerindra, PPP, PKB, dan Nasdem, bukanlah menjadi alasan lemahnya penegakkan hukum diatas tarik ulurnya suara politik di DPRD.
Bentuk konfigurasi antara politik dan hukum yang dibentangkan oleh Kepri, menjadikan dugaan atas gagalnya penegakkan hukum dalam prosedur pengangkatan wakil kepala daerah.
Pada Undang-undang yang sama, yakni dalam pasal 6 ayat (4) yang pada intinya menegaskan bahwa, Gubernur yang tidak mengusulkan calon wakil gubernur dikenai ‘sanksi administratif’ berupa teguran tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Setelah resmi menakhodai Kepri selama hampir 1 tahun, tanpa memiliki wakil. Apakah sanksi administratif tersebut sudah diterapkan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang itu?.
Hal inilah yang tidak diketahui oleh masyarakat luas, bahwa kelemahan penegakkan prosedur hukum pada tingkat daerah seharusnya menjadikan pemerintah pusat bersikap tegas, karena hal ini terkait sistem ketatanegaraan yang utuh.
Maka “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” adalah bagian kongkrit pada sebuah kekuasaan yang absolut.
Pada kekuasaan yang hanya dikendalikan oleh satu orang dengan kewenangan yang penuh, maka bukan tidak mungkin akan memunculkan adanya bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Pada era modern ini kekuasaan bukan lagi bersifat tidak terbatas, segala bentuk kekuasaan dibatasi oleh undang-undang, sehingga apapun yang melekat pada sebuah negara maka ia harus tunduk pada hukum. Bahkan ketika kekuasaan didominasi oleh politik, maka hukum adalah panglima tertinggi sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD.
Oleh : Emy Hajar Abra, SH. MH, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (PASAK) UNRIKA, Batam.
Disunting Ulang: JB
Editor: CB/DK/CITIZEN JOURNALISM
