Banyak orang bicara tentang kota indahnya kota wisata, Batu yang terletak di Kabupaten Malang.
Bagi pecinta alam, mereka mengisahkan berbagai keindahan alam dalam lisan dan tulisan. Sedangkan bagi pemburu cinta satu malam mengisahkan mengabadikan moment indah bersama bidadari penghangat di kota sejuk itu.
Sebagai seorang pecinta keindahan alam sekaligus pemburu berbagai informasi, sebelum mengakhiri perjalanan keliling Sumatra – Jawa saya menyempatkan diri ke kota ini.
Wisata yang berlokasi sekitar 45 menit dari kota Malang ini terkenal dingin karena kedekatannya dataran tinggi serta fenomena titik Aphelion. Bahkan tingkat kedinginan kota ini tak jarang mencapai 16 derajat celcius. Hal ini membuat pengendara sepeda motor tanpa mantel dan sarung tangan merasa berada dalam kulkas.
Sekitar pukul 21.00 WIB malam hari kemarin (13/7/2019) dari Singgoriti hendak kembali ke penginapan kami salah satu hotel di jalan Zaenal Arifin, Malang Kota. Sebagai orang awam yang belum pernah ke tempat ini pergi tanpa persiapan seperti mantel dan sarung tangan. Akibatnya, kedua tangan yang menyetir sepeda motor bagai diselimut es batu.
Tangan bergetar, dan solusi terakhir adalah mampir ke salah satu tempat hiburan di sana. Di sana saya memesan tiga botol bir dengan harga perbotol Rp 65.000. Sementara teman saya hanya memesan kopi panas untuk mentralisir hawa dingin yang sedang menyelimuti kota Senggoriti.
Suasana malam hari di kota ini terbilang sepi. Tempat hiburan sangat jarang ditemui. Hal ini karena peraturan pemerintah setempat yang menobatkan kota ini sebagai Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) dan disetujui pula oleh kemenpar tahun 2019 ini.
Sempat bertanya keberadaan para gadis si guru olah raga esek-esek yang bisa membuat peredaran darah lancar dan kembali hangat. Tapi ternyata, mereka enggan memunculkan batang hidung lantaran aturan IMTI yang diterapkan oleh Pemkab setempat. Karena resikonya bisa berujung penggerebekan dari penegak Perda, Satpol PP di sana.
Namanya juga kebutuhan biologis. Saya yakin ditempat ini tidak mungkin tidak memiliki instruktur kuda-kudaan. Belum juga habis segelas bir, keluar lah satu dua dan tiga bidadari pemandu suara di salah satu karaoke tempat kami melepas dingin.
Sinar lampu remang memantul di baju merah “You Can See” yang dikenakan. Membuat wajah mereka begitu mempesona.
Tawar punya tawar, yang namanya juga ingin tahu. Keberadaan para penjaja cinta di Singgoriti akhirnya terungkap. Banyak trik yang dilakukan agar keberadaan mereka tetap tersembunyi. Dan bicara masalah harga, berada pada kisaran Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per sekali sedot atau Short Time. Dan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bobar alias bobo bareng hingga pagi.
Keindahan kota Singgoriti jauh kalah di Banding Hatyai, Thailand. Tapi bicara masalah keramaian, Hatyai Thailand masih terdepan. Apakah ini karena ada hubungan dengan Wisata umu dan Halal? Atau mungkin karena memang pemerintah di sana lebih jago membuat strategy pemasaran dibanding di sini?
Semoga hal ini bisa menjadi refrensi untuk Pemkab Malang dalam mengembangkan wisata kota ini
Baca Juga Hiburan Malam di Kota Batu