Islam merupakan ajaran agama yang paling sempurna. Allah hanya meridhai Islam di dunia dan akhirat. Spiritual usai ibadah sangat relevan diimplementasikan oleh mereka yang beriman. Baik dari hal yang terkecil sampai terbesar.
Para ulama sepakat dengan istilah maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat (kebaikan) yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Maslahat akhirat sangat ditunggu oleh mereka yang beriman. Kenikmatan dan kelezatan hidup di akhirat tiada tara. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam;
قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang salih dan salihah kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia” (HR. Al Bukhari No. 3073 dan Muslim No. 2824).
Demikian halnya untuk ibadah haji atau umrah. Secara khusus, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga” (HR. Al Bukhari No. 1683 dan Muslim No. 1349).
Hadis Rasulullah;
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga” [Muttafaq ‘alaih, Al Bukhari (III/597 No. 1773), Muslim (II/987, No.1349), Sunan At Tirmidzi (II/206, No. 937), Sunan Ibni Majah (II/964, No. 2888), dan Sunan an-Nasa-i (V/115)]
Pesugihan Sempurna
Pelaksanaan umrah dan haji yang ikhlas karena mengharap ridha Allah akan diberikan pengampunan dosa dan dijadikan oleh Allah sukses dalam urusan dunia dan akhiratnya.
Jika selama ini ada seseorang yang mencari pesugihan atau kekayaan dengan cara yang di luar syariat, maka segera bertobatlah. Sebab jika seseorang mencari pesugihan melalui perantaraan manusia, justru akhirnya akan bangkrut dan tersesat.
Semakin percaya dan menggantungkan harapan kepada manusia, maka hidupnya akan semakin sempit dan gelap. Mungkin sudah banyak harta kita yang diberikan kepada si A, si B, atau si C yang dianggap memiliki ‘keajaiban’.
Ternyata setelah harta dan benda kita dikuras (dibohongin), akhir dari kesudahan semua itu menjadi sempit jalannya. Sempit pikirannya, gelap hati dan wajahnya, atau dimiskinkan Allah semiskin-miskinnya.
Tetapi jika seseorang ingin mencari ridha Allah dan ingin sugih (kaya), ada banyak hal yang bisa dilakukan sesuai dengan syariat. Salah satunya dengan haji dan umrah. Sebagaimana janji Allah dalam hadis yang shahih;
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya menghilangkan kefakiran (kemiskinan) dan dosa, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran (karat) besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” (Sunan At Tirmidzi II/153 No. 807 | Sunan An Nasa’i V/115)
Sudah barang tentu, Allah menjamin para tamu-tamunya di haromain (Mekkah dan Madinah) dengan suguhan spiritual yang tiada tara tandingannya di tanah air.
Secara lahir, jika seseorang baru pertama kali berkunjung untuk menyaksikan Madinah dan Mekkah, sudah pasti lupa dengan orang-orang terdekatnya, termasuk anak-anak dan istrinya atau kerabatnya.
Ketakjuban dan keindahan mata memandang kemudian dinikmati hati dan merasuk ke dalam pikiran menjadi suatu obat kerinduan yang tiada tara.
Salah satu dari bagian terkecil bahkan partikel dari makna dihilangkan kefakiran (kemiskinan) saat prosesi umrah adalah kenikmatan dan kelezatan yang dirasakan masing-masing tamu Allah selama di Madinah dan Mekkah.
Hal itu bisa dirasakan secara spiritual jika seseorang khusyuk dan ridha menjalani ibadah umrah ataupun haji di tanah haram dengan ikhlas. Demikian juga ketika tamu-tamu Allah pulang ke tanah air, kerinduan dan kesyahduan selalu menghiasi hati.
Artinya, dari partikel yang terkecil saja Allah sudah hapuskan kefakiran (kemiskinan) seseorang jika ibadah umrah dan hajinya mengikuti syariat yang benar, ikhlas, dan karena Allah semata.
Tentu saja jaminan dihilangkan kefakiran (kemiskinan) secara lahir, maka dari 100 persen orang yang kembali beribadah haji dan umrah dengan benar, kehidupannya akan terus membaik (meningkat).
Salah satu ukuran materi yang paling ringan, jika seseorang berangkat umrah atau haji dalam kondisi miskin atau pas-pasan, Insya Allah sepulang dari haromain akan meningkat penghidupannya.
Jika dia seorang karyawan swasta maka kariernya akan cepat meningkat. Bila dia seorang pedagang, maka dagangannya akan laris manis.
Jika dia tidak memiliki televisi, kulkas, motor, mobil, atau rumah, maka sudah dijamin Allah dia akan memiliki sandang dan papan yang layak. Lihatlah mereka yang melaksanakan umrah dan haji dengan benar, secara lahir keduniawiannya meningkat, terlebih ruhaninya.
Namun ada sebagian orang sepulang dari umrah atau haji malah menjadi miskin atau bangkrut, tentu saja ini harus instropeksi (muhasabah) terhadap diri masing-masing. Dari pengalaman yang ada, jarang sekali orang pulang umrah atau haji itu menjadi kere (miskin dan fakir).
Tak Semua Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji (umrah) mencita-citakan haji (umrah) yang mabrur. Haji (umrah) mabrur bukanlah sekedar haji (umrah) yang sah.
Mabrur berarti diterima Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban rukun Islam. Bisa jadi haji (umrah) seseorang sah sehingga kewajiban berhaji (umrah) baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya (umrah) diterima oleh Allah.
Jadi, tidak semua yang hajinya (umrah) sah terhitung sebagai haji (umrah) mabrur. Ibnu Rajab Al Hanbali mengatakan;
“Yang hajinya (umrah) mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jemaah haji (umrah) yang tidak baik lantaran jamaah haji (umrah) yang baik” (Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68).
Tanda Haji (Umrah) Mabrur
Bagaimana kita mengetahui mabrurnya haji (umrah) seseorang? Apa perbedaan antara haji (umrah) yang mabrur dengan yang tidak mabrur?
Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji (umrah) seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji (umrah) seseorang adalah haji (umrah) yang mabrur atau tidak.
Hanya saja para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji (umrah), berdasarkan keterangan alquran dan hadis, namun hal ini tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji (umrah) hamba Allah.
Tanda haji (umrah) mabrur yang diuraikan para ulama adalah;
Pertama adalah harta yang dibayarkan untuk haji (umrah) adalah harta yang halal (Ihya Ulumiddin 1/261). Allah tidak akan pernah menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam;
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik” (HR. Muslim No. 1015).
Orang yang ingin hajinya (umrah) mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang dia pakai untuk haji (umrah) adalah harta yang halal. Bukan harta dari judi, korupsi, merampok, memeras, menipu, atau yang didapatkan dari cara haram lainnya.
Jika berhaji (umrah) dengan harta tidak halal asalnya, maka kita tidak berhaji (umrah), yang berhaji (umrah) hanya rombongan saja. Allah tidak terima kecuali yang halal saja dan tidak semua yang haji (umrah) mabrur hajinya atau umrahnya.
Kedua, amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik. Sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wa Sallam. Intinya rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan sempurna dan semua larangan ditinggalkan.
Apabila terjadi kesalahan maka hendaknya segera membayar penebusnya (dam) sesuai syariat yang sudah ditentukan. Di samping itu, haji (umrah) yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati karena hanya untuk Allah semata tujuannya.
Ketiga, hajinya (umrahnya) dipenuhi dengan banyak amalan baik. Seperti zikir, salat fardhu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawwi, salat tepat pada waktunya, dan saling tolong-menolong kepada sahabat-sahabat seperjalanan.
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji (umrah) mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata yang baik selama haji (umrah). Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang maksud haji (umrah) mabrur, maka beliau menjawab;
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik” (HR. Al Baihaqi 2/413 No. 10693) | Silsilah Al Hadis Ash Shahihah 3/262 No. 1264)
Keempat tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat yang dilarang dalam agama Islam dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas dan jika dilanggar, maka haji (umrah) mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq, dan jidal. Allah berfirman;
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji” (QS. Al Baqarah 197)
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya” (HR. Muslim No. 1350)
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadis di atas. Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya (umrah) mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji (umrah), baik berupa syirik dan maksiat.
Kelima setelah haji (umrah) menjadi lebih baik dan dermawan. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut.
Sebaliknya, jika setelah beramal salih melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya (Lathaiful Ma’arif 1/68). Ibadah haji (umrah) adalah madrasah atau sekolahan.
Selama berhari-hari jemaah haji (umrah) disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk-pikuk urusan duniawi yang melalaikan.
Di samping itu berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Setiap orang yang menjalankan ibadah haji (umrah) akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji (umrah).
Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji (umrah) pada dirinya. Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik.
Kemudian memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang mantap dan benar. Selain itu istiqomah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji (umrah) mabrur.
Orang yang hajinya (umrah) mabrur menjadikan ibadah haji (umrah) sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah. Dia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al Hasan Al Bashri mengatakan: “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat” (At Tarikh Al Kabir 3/238).
Dia juga mengatakan: “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji atau umrah” (Lathaiful Ma’arif 1/67).
Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji (umrah) adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majelis kelalaian menjadi majlis zikir dan kesadaran” (Qutul Qulub 2/44).
Intinya, yang menilai mabrur tidaknya haji (umrah) seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka.
Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji (umrah) kita, maka hendaknya bersyukur atas taufik dari Allah. Bolehlah kita berharap ibadah kita diterima oleh Allah dan teruslah berdoa agar ibadah kita benar-benar diterima.
Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka kita harus mawas diri, istighfar, dan terus memperbaiki amalan sepanjang usia kita. Wallahu A’lam Bish Shawwab.