CENTRALBATAM.CO.ID, BATAM – Kasus praperadilan yang diajukan RS melalui kuasa hukumnya terhadap Polres Kuantan Singingi (Kuansing), Polda Riau, menjadi sorotan publik dan akademisi hukum.
Dosen dan akademisi Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Batam, Assoc. Prof. Dr. Alwan Hadiyanto, S.H., M.H., C.Med., C.CL, menilai perkara ini sebagai ujian penting terhadap penerapan asas due process of law dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Alwan yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi S2 Magister Hukum UNRIKA Batam menyatakan, praperadilan merupakan instrumen konstitusional untuk menguji keabsahan tindakan aparat penegak hukum, khususnya dalam penetapan tersangka dan prosedur penyidikan.
“Praperadilan adalah mekanisme check and balance agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Pengujian terhadap penetapan tersangka dan SPDP merupakan bagian dari perlindungan hak konstitusional warga negara,” ujar Alwan.
Penetapan Tersangka Harus Penuhi Syarat Hukum
Menurut Alwan, Pasal 77 KUHAP secara tegas memberi kewenangan kepada praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka.
Ia menegaskan, penetapan tersangka wajib didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP, serta didahului pemeriksaan terhadap calon tersangka, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
“Jika penetapan tersangka dilakukan tanpa dua alat bukti yang cukup atau tanpa pemeriksaan yang layak, maka penetapan tersebut secara hukum dapat dibatalkan melalui praperadilan,” jelasnya.
SPDP Dinilai Bermasalah dan Terlambat
Alwan juga menyoroti prosedur Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dipersoalkan kuasa hukum RS. Berdasarkan fakta yang disampaikan, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) diterbitkan pada 10 Oktober 2025, SPDP tertanggal 16 Oktober 2025, namun baru diterima Pemohon secara resmi pada 24 Oktober 2025.
“Keterlambatan ini melampaui batas waktu yang lazim diatur dalam Perkapolri, yakni maksimal tujuh hari sejak Sprindik diterbitkan. Ini bukan sekadar administratif, tetapi menyangkut prinsip due process of law,” tegasnya.
Ia menambahkan, meski Pasal 109 KUHAP tidak mengatur sanksi tegas, kewajiban SPDP tetap harus dipatuhi demi kepastian dan keadilan hukum.
Alat Bukti dan Unsur Kekerasan Perlu Diuji Ketat
Dalam kasus dugaan kekerasan terhadap anak, Alwan menekankan pentingnya kualitas alat bukti.
Menurutnya, penyidik harus mampu membuktikan unsur pidana secara objektif, termasuk adanya kekerasan sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
“Jika alat bukti hanya bertumpu pada satu saksi atau tanpa dukungan bukti medis seperti visum, maka penetapan tersangka patut dipertanyakan,” katanya.
Ia juga menilai latar belakang peristiwa, termasuk adanya dugaan pencurian sandal dan upaya perdamaian yang gagal, dapat menjadi konteks penting dalam menilai niat (mens rea) dari perbuatan yang dipersoalkan.
Polisi Mangkir Sidang, Akademisi Soroti Etika Penegakan Hukum
Lebih lanjut, Alwan mengkritik keras ketidakhadiran Polres Kuansing dalam sidang perdana praperadilan. Menurutnya, sikap tersebut tidak mencerminkan etika institusi penegak hukum.
“Mangkirnya Termohon dalam sidang praperadilan adalah tindakan yang kontraproduktif. Ini melanggar prinsip peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan,” tegas Alwan.
Ia mengingatkan, ketidakhadiran Termohon berpotensi merugikan institusi kepolisian sendiri, bahkan membuka risiko pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan oleh hakim.
Alwan menegaskan bahwa fokus utama hakim praperadilan adalah menguji aspek formil dan prosedural, bukan pokok perkara.
“Hakim harus memastikan apakah prosedur penyidikan telah sesuai KUHAP dan Perkapolri, serta apakah penetapan tersangka benar-benar didasarkan pada alat bukti yang sah. Polres Kuansing wajib hadir pada sidang berikutnya untuk mempertanggungjawabkan proses hukum yang telah dilakukan,” pungkasnya.(dkh)

