CENTRALBATAM.CO.ID, ANAMBAS – Kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) APDes 2019 yang membuat Kepala Desa (Kades) Matak, Kecamatan Kute Siantan Awaluddin dan Sekretaris Desa (Sekdes) Fendi Surya Irawan sebagai tersangka dugaan korupsi atas kasus belanja modal kegiatan pembangunan di Desa Matak tahun 2019 masih terus menjalani pemeriksaan.
Agung Ramadhan Saputra, kuasa hukum dari dua tersangka mengatakan dalam kasus yang menimpa klainnya itu akibat dari adanya beberapa Pengadaan barang/jasa.
“Pertama penimbunan lapangan serbaguna, kedua pembuatan parit atau selokan, ketiga renovasi Kantor Desa, lalu keempat Pembuatan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA),” katanya.
Agung menyebutkan berdasarkan investigasi tertentu yang dilakuan oleh inspektorat Kabupaten Kepulauan Anambas atas permintaan Kepolisian Resor Kepulauan Anambas ditemukan indikasi kerugian keuangan negara karena pengeluaran yang tidak transparan.
Pengeluaran tersebut sebesar Rp 221.710.700, pada 19 November 2021. Namun indikasi kerugian keuangan negara tersebut sudah dikembalikan oleh Kades dan Sekdes pada 20 Desember 2021.
“Indikasi kerugian keuangan negara yang paling besar diantara empat pengadaan barang/jasa itu adalah penimbunan lapangan serbaguna dengan indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 153 juta,” ujarnya.
Kemudian pada 3 Januari 2019 ada permintaan dari masyarakat setempat kepada Kades agar mengeluarkan kebijakan pembangunan atau penimbunan lapangan serbaguna untuk kepentingan umum (disertai dengan berita acara).
Kemudian, 4 Januari 2019 ditetapkan Keputusan Kepala Desa Nomor 02 Tahun 2019 tentang Pembebasan Lahan Lapangan Serbaguna dan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Desa Matak.
Selanjutnya Kades memenuhi permintaan tersebut dengan cara melakukan pembebasan lahan atau memberikan ganti kerugian kepada pemilik atau penguasa lahan sebesar Rp 130 juta dengan dua kali pembayaran.
“Pembayaran pertama sekira bulan Februari 2019 sebesar Rp 100 juta menggunakan uang pribadinya terlebih dahulu sebelum pencairan Dana Desa. Karena penimbunan lapangan serbaguna untuk kepentingan umum itu tidak akan dapat dikerjakan di lahan tersebut sebelum terdaftar atau tercatat sebagai asset negara/desa. Sisa pembayaran Rp 30 juta dibayarkan pada saat pekerjaan selesai,” sebutnya.
Selanjutya, penyebab indikasi kerugian keuangan negara lainnya yaitu, pembayaran barang/jasa fiktif, upah pekerja yang fiktif, dan ketidaksesuaian antara harga material yang tertera dalam nota pembelian dengan harga dari keterangan penjual material pada saat dikonfirmasi inspektorat kabupaten Kepulauan Anambas. Hal ini disebabkan biaya operasional yang tidak terakomodir.
“Terkait pekerja fiktif, perlu diketahui bahwa yang menentukan nama-nama pekerja bukanlah Kades. Kades mengetahui nama-nama pekerja fiktif setelah pekerjaan selesai atau setidak- tidaknya pada saat diperiksa,” ujarnya.
Menurutnya, salah satu asas yang berlaku di Indonesia adalah presumption of innocence (seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde), pembebasan lahan direalisasikan kades atas permintaan masyarakat yang dituangkan dalam produk hukum yaitu, Keputusan Kepala Desa Matak Nomor 02 Tahun 2019 tentang Pembebasan Lahan Lapangan Serbaguna dan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).
Hal ini perlu diperhatikan karena berkenaan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, selain itu ada juga indikasi kerugian keuangan negara atas Pengadaan barang/jasa lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan indikasi tersebut juga termasuk dalam ranah administratif yang merujuk pada UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Syarat seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terkhusus korupsi bilamana ada means rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan pidana).
“Bagaimana jika terkait dengan pekerja- pekerja fiktif Kades tidak mengetahuinya ?. Tentu semestinya Kades tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana karena tidak terdeteksi adanya means rea,” sebutnya.
Agung menjelaskan, menurut Van Hamel ahli hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada seseorang apabila satu, adanya suatu perbuatan, kedua mengetahui perbuatan itu dilarang, ketiga terbebaskan dari alasan pemaaf dan pembenar. Kemudian dua unsur kesengajaan adalah willens and wetens, menghendaki dan mengetahui.
“Jika tidak terdapat unsur unsur tersebut dalam perkara ini, maka sudah sepatutnya peristiwa ini diselesaikan ke ranah PTUN, berhubung indikasi kerugian keuangan negara sudah dikembalikan, oleh karenanya perkara dianggap selesai menurut saya selaku kuasa hukum Kades dan Sekdes,” katanya.
Sejalan dengan Pasal 7 ayat (5) huruf b Perjanjian Kerjasama antara Kementerian Dalam Negeri RI, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI tahun 2018 tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam penanganan Laporan atau Pengaduan Masyarakat yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Pada Penyelenggaraan Pemerintahaan Daerah.
“Kesalahan Administrasi mempunyai kreteria antara lain terdapat kerugian keuangan negara/ daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK”.
Tindak Pidana Korupsi terdiri dari beberapa unsur antara lain Kerugian Keuangan Negara, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/ PUU- XIV/2016 yang mencabut frasa “dapat” pada pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehingga terhadap unsur Kerugian Keuangan Negara haruslah nyata dan pasti, selain itu juga unsur Kerugian Keuangan Negara merupakan bestanddelen van het delict (inti delik).
“Pertanyaannya bagaimana apabila Kerugian Keuangan Negara sudah dikembalikan ? dimana inti deliknya ? Dan bagaimana Hukumnya?. Bukankah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memprioritaskan restorasi atau pemulihan keuangan negara?,” ujarnya.(asiyah)
