Ketika itu, saya membaca tentang karyanya yang berjudul OTONOMI KHUSUS KELIMA
BAGI PULAU TERLUAR INDONESIA.
Menurutnya, membahas otonomi khusus (Otsus) yang semestinya ada sebagai konsekwensi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara maritim. Negara maritim diindonesia salah satunya berada di daerah provinsi kepulauan riau, yang memiliki 96% Lautan yang belum dikelola secara maksimal.
Seperti dua kabupaten bernama Natuna dan Anambas yang saat ini masih menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Dua kabupaten ini, masih kurang diperhatikan pemerintah provinsi kepri, sehingga daerah ini patut untuk menjadi provinsi sendiri yaitu provinsi maritim yang berada digarda terdepan di pulau NKRI.
Mengapa harus Natuna dan Anambas? Kedua kabupaten ini memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa kaya dan letak geografis berbatasan langsung dengan sejumlah negara di Asia Tenggara. Selain itu, di daerah ini sering terjadi pencurian atas sumber daya, terutama ikan akibat kelengahan pemerintah dan rentang kendali yang terlalu panjang. Kita baru sampai pada memandang kawasan ini sebagai kawasan strategis nasional, tetapi belum maksimal dalam tindakan. Seperti Pulau Laut salah satu kecamatan di Kabupaten Natuna,yang menjadi simbol untuk menjaga pulau yang terbentang dengan wilayah konflik dilaut cina selatan.sebagai wilayah yang hanya sebuah kecamatan, maka ia menjadi tidak kuat. Padahal, ribuan kapal setiap hari bersandar di pulau ini dan ijin sandar dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Dengan hanya berbentuk sebuah kecamatan, kontrol keamanan pada daerah terluar akan menjadi kendor karena kekuatan dan bahkan kepentingan ekonomi pusat yang terbatas pada daerah (Stewart, 2009:29-42).
Saat memberi masukan kepada Tim Evaluasi pada Kinerja Pemerintahan Jokowi JK di Pontianak pada tanggal 6 April 2016 di Hotel Mercure, Dr. Erdi adalah orang pertama yang mengusulkan kepada Tim yang diutus oleh Jokowi JK agar di Indonesia dibentuk provinsi maritim yang ditempatkan di Anambas dan Natuna. Sekarang, opini ini terus bergulir dan bahkan nama untuk Provinsi Otsus kelima ini pun sudah tercetus; yakni Provinsi Pulau Tujuh.
Diharapkan, otsus kelima dimaksud adalah otsus kemaritiman atau kelautan sebagai konsekwensi dari adanya Revolusi Biru (lihat Fadel Muhammad, 2010). Visi ini merupakan paradigma baru yang memandang Indonesia bukan lagi pulau-pulau yang dipersatukan oleh laut, melainkan laut. yang ditaburi pulau-pulau. Membangun untaian kawasan pantai dan bandar nusantara perikanan (minapolitan) di daerah-daerah merupakan wujud dari revolusi biru.Selanjutnya, masyarakat di kedua kabupaten itu hendaknya menyambut peluang ini dengan terlebih dahulu memekarkan atau memecah dua kabupaten asal (Anambas dan Natuna) menjadi beberapa daerah otonomi baru (DOB) hingga persyaratan pembentukan Provinsi Baru dengan perlakuan otsus tidak mengalami hambatan di lapangan. Untuk membentuk sebuah provinsi baru, minimal dibutuhkan sebanyak 5 (lima) kabupaten. Oleh karena itu, Kabupaten
Natuna (KN) dan Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) perlu memekarkan wilayah mereka menjadi beberapa DOB. Ketika pemekaran kedua kabupaten itu tidak mencapai 5 kabupaten, maka kedua kabupaten ini harus dapat merangkul daerah sekitar untuk bergabung ke dalam Provinsi Otsus Baru yang diusulkan bernama Provinsi Pulau Tujuh ini.
Degan demikian, Indonesia akan memiliki sebanyak 35 provinsi dan 5 (lima) diantaranya diberikan hak otsus. Sebutan untuk Otsus Baru ini masih dapat dirundingkan dengan masyarakat di daerah KN dan KKA; diperjuangkan melalui
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR-RI) seperti termaksud dalam UU No. 17 tahun
2014 (Erdi, 2016b). Kembali: kiprah, kepiawaian dan pengaruh sosok kuat tokoh nasional asal Kabar, yakni Dr. Oesman Sapta Oedang (OSO) sangat diharapkan untuk dapat mendobrak dinding moratorium bagi pemekaran DOB yang kini tengah diberlakukan secara nasional.
Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan penting dari pemberian otsus kepada daerah terluar ini adalah (1) kontribusi daerah pada penerimaan negara dari minyak bumi dan gas yang sangat besar tetapi tidak sebanding dengan dana bagi hasil (DBH) yang dikembalikan pusat ke daerah; (2) letak daerah yang selama ini disebut sebagai pulau terluar yang kini berganti sebutan menjadi beranda terdepan; (3) tingkat kesejahteraan masyarakat yang sangat rendah, karena keterbatasan dana pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar public bagi
pengembangan kapasitas sumber daya alam dan sumber daya manusia di kawasan perbatasan, seperti prasarana perhubungan (langkanya dukungan jalan, jembatan, dermaga dan sebagainya), jaringan listrik, telekomunikasi, prasarana
pendidikan dan prasarana kesehatan; dan (4) Konsekwensi dari revolusi biru yang diturunkan dari nawacita Jokowi – JK (cita
ke-1 dan ke-3) yang belum terwujud dalam pengembangan daerah kemaritiman. Keempat aspek di atas, cukup untuk menyatakan bahwa KN dan KKA bersifat khusus dan oleh karenanya dapat diberikan otsus dalam rangka mewujudkan
minapolitan di Indonesia.
Di akhir pemerintahan SBY-Boediono, DBH ke KN dan KKA sangat kecil, padahal kedua kabupaten ini merupakan penyumbang penerimaan negara terbesar pada negara. UU baru tentang MD3 tidak menyebutkan prosentase pembagian DBH
secara tegas sehingga menjadi pasal karet bagi pusat dalam mengkerdilkan daerah. Disebabkan letaknya yang strategis, kedua pulau ini menjadi perlintasan penting kapal-kapal perdagangan yang melintas di kawasan selatan Asia termasuk Jepang, Eropa, Amerika, Vietnam, Kamboja, Cina dan kapal-kapal asing lainnya yang melintasi perairan internasional menuju Selat Malaka. Semoga Otsus Kelima Kemaritiman bagi KN dan KKA dengan nama Provinsi Pulau Tujuh ini dapat diwujudkan paling lama di akhir pemerintahan Jokowi JK.